https://australia.times.co.id/
Coffee TIMES

Siapa Sebenarnya Pengelola Kawasan Wisata Bromo?

Wednesday, 19 February 2020 - 23:52
Siapa Sebenarnya Pengelola Kawasan Wisata Bromo? Sigit Pramono, Pelaku dan Pemerhati Pariwisata.

TIMES AUSTRALIA, PROBOLINGGO – Baru- baru ini di kawasan wisata Bromo direncanakan akan diselenggarakan silaturahmi Gubernur Jatim dengan pemangku kepentingan pariwisata di Bromo. Setelah 2 kali jam pertemuan diubah pihak pengundang yaitu Pemprov Jatim,  ternyata Gubernur belum muncul juga. Gubernur baru datang malam sekali. Ketika esok harinya  masyarakat pelaku dicoba untuk dikumpulkan kembali, mereka sudah bertebaran ke tempat masing-masing. Pihak pengundang barang kali lupa bahwa masyarakat pelaku wisata juga tetap harus bekerja mencari nafkah. Mereka bukan pengangguran yang pekerjaannya hanya menunggu pejabat.

Destinasi wisata Bromo barangkali contoh yang menarik bagaimana tumpang tindihnya kewenangan birokrasi di  suatu wilayah yang menjadi destinasi wisata. Dari sisi administrasi pemerintahan, kawasan Bromo di bawah kewenangan 4 pemerintah daerah yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Bisa dibayangkan potensi persoalan koordinasi yang akan timbul. Oleh karena itu untuk "menengahi" potensi persoalan ini,  patut diapresiasi langkah Gubernur Jatim yang berinisiatif mengambil peran dalam pengelolaan kawasan Bromo.

Dari sisi pengelolaan kawasan taman nasional, Bromo ada di bawah Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, sebuah institusi dalam kendali pemerintahan pusat yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dan seperti yang umum terjadi di negeri kita tercinta ini, jika menyangkut kewenangan  mereka saling menekankan hak masing-masing, tetapi giliran menyangkut kewajiban mengelola dan memenuhi hak masyarakat serta wisatawan yang datang ke Bromo, mereka saling mengangkat bahu dan mengarahkan telunjuknya ke pihak lain  yang dianggap lebih bertanggung jawab.

Situasi seperti ini memang tidak bisa seluruhnya ditimpakan kesalahannya kepada 4 pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi tersebut . Dan tidak adil  juga jika dibebankan kesalahannya  kepada pihak Taman Nasional.

Akar masalah utamanya barangkali adalah soal uang atau dana. Pengunjung Bromo membayar Rp 24.000,- untuk wisatawan domestik dan Rp 320.000,- untuk turis asing. Ini tarif  yang baru dinaikkan per Juni 2019 dengan alasan untuk meningkatkan layanan.

Dalam kenyataannya setelah dinaikkan tarifnya, tidak terasakan adanya peningkatan pelayanan sama sekali. Bahkan untuk fasilitas paling dasar untuk tempat wisata yaitu toilet, tetap saja buruk. Layanan yang lain juga tidak ada peningkatan. Pada setiap akhir pekan dan masa liburan,  area tertentu di kawasan Bromo seperti Penanjakan misalnya,  tetap saja semrawut, gaduh dan padat polusi udara dan suara.

Dalam saat- saat seperti ini  wisatawan sering merasa Bromo itu seperti tidak ada pengelolanya. Negara tidak hadir di Bromo.
Padahal sebagai konsumen yang sudah membayar Rp 24.000,- ( domestik) dan Rp 320.000,- ( asing) sangat pantas kalau mereka mempertanyakan haknya: Saya dapat apa kalau berkunjung ke Bromo?  

Mengharapkan toilet bersih dan cukup air saja,  mereka tidak memperolehnya. Bahkan mereka masih harus bayar lagi jika memakai toilet. Sangat wajar jika banyak wisatawan marah soal toilet ini. Karena mereka punya pembanding. Di sekitar kawasan Bromo,  pengunjung dengan membayar Rp 10 ribu, bisa memakai toilet yang dikelola oleh pihak swasta, dengan standar seperti toilet hotel bintang empat. Tentu saja kita tidak bisa berdalih wisatawan harus  membayar tiket masuk ke Bromo karena  bisa melihat keindahan alam Bromo. Wisatawan akan menyoal Bromo kan ciptaan Tuhan, kenapa harus membayar?

Kalau tiket masuk tidak dikembalikan dalam bentuk penyediaan fasilitas sanitasi dan lainnya, lalu ke mana sebetulnya larinya uang yang dibayar oleh wisatawan Bromo? 
Ternyata sebagian paling besar uang tiket disetorkan ke Pemerintah Pusat. Menjadi penerimaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari informasi bisik-bisik yang diperoleh dari pihak Taman Nasional penerimaan tiket masuk sebesar Rp 26 milyar dalam satu tahun, yang dikembalikan ke Taman Nasional hanya Rp 1,5 milyar. 

Pantas saja wisatawan Bromo tidak mendapatkan haknya untuk fasilitas dan layanan yang layak ketika berkunjung ke Bromo. Pernah di dalam suatu diskusi disebutkan alasan mengapa dana yang dikembalikan ke Taman Nasional Bromo kecil,  karena itu digunakan untuk mensubsidi silang taman-taman nasional lain di Indonesia yang penerimaan tiketnya kecil.

Kalau betul itu alasannya sungguh tidak masuk akal. Karena wisatawan yang berkunjung ke Bromo sudah membayar mahal, sangat wajar jika mereka harus dilayani dengan baik.  Tidak adil jika mereka harus mensubsidi pengunjung taman nasional lain di Indonesia.

Di luar masalah manajemen anggaran, ada beberapa persoalan lain dalam pengelolaan kawasan wisata Bromo.

Persoalan itu ialah manajemen pengunjung. Sekarang ini wisatawan bisa masuk kawasan Bromo dari tiga pintu masuk dari arah Probolinggo, Pasuruan dan Malang. Yang menjadi persoalan sekarang ini ialah dalam saat tertentu tidak diketahui dengan pasti jumlah pengunjung yang berkerumun di Penanjakan, di puncak gunung Bromo, di sekitar kawasan laut pasir dll. Ini berita  kurang bagus dari sisi kenyamanan dan keselamatan pengunjung.

Padahal dengan bantuan sistem dan teknologi informasi pihak pengelola bisa mengatur dan mendistribusikan pengunjung sehingga tidak menumpuk di area tertentu.  Semestinya pengelola Bromo bisa memanfaatkan sistem 'on line' dan teknologi informasi, untuk membangun pintu masuk ke Bromo yang terintegrasi.

Berkaitan dengan persoalan di Bromo  para pelaku pariwisata sebetulnya tidak hanya mengkritik,  mereka tidak tinggal diam. Mereka sudah mengusulkan berbagai solusi agar siapapun pengelola Bromo bisa mengelolanya dengan baik. Usulan sudah sering disampaikan kepada Pemerintah baik kepada beberapa menteri Pariwisata, menteri Kehutanan, Gubernur yang sudah beberapa kali ganti. 

Usulan juga sudah sering didiskusikan dengan pihak pengelola langsung sekarang ini  yaitu Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Tetapi beberapa usulan solusi untuk membuat Bromo lebih nyaman bagi pengunjung, belum banyak yang bisa dieksekusi karena rumitnya koordinasi antar  lembaga pemerintah dan alasan klasik lainnya yaitu : terbatasnya anggaran.

Pihak pelaku wisata selain pernah mengusulkan integrasi pintu masuk ke Bromo secara "online", pengaturan dan pembatasan jumlah pengunjung di Penanjakan (sistem kuota) pada jam favorit. Di samping itu para pelaku  juga pernah mengusulkan pembangunan satu saja jalur kendaraan bermotor menyusuri tebing laut pasir dan savana. Tujuannya ialah  untuk konservasi, karena selama ini mobil dan motor bebas membuat jalan baru di tengah laut pasir dan savana.

Ironisnya dalam hal konservasi ini pihak pengelola yang seharusnya lebih ketat dan lebih tegas justru seringkali melanggar. Pembangunan signage/ tugu tulisan,  pembangunan toilet, tempat pedagang kaki lima sering tidak sesuai dengan asas konservasi. Para pemerhati lingkungan pernah memprotes pembangunan tugu permanen/"signage" nama  di tengah laut pasir, tetapi pihak pengelola bergeming dan bangunan itu tetap  berdiri sampai sekarang. 

Padahal alasan utama dari para pemerhati lingkungan bukan semata-mata soal "signagenya' saja. Tetapi keprihatinan bahwa jika pihak pengelola mulai membangun satu bangunan permanen,  akan ada godaan untuk mengijinkan bangunan permanen yang lainnya. Dan tidak lama lagi tampaknya kekhawatiran itu akan benar-benar terjadi, karena kabar burung beredar bahwa Kementerian LHK akan mengijinkan dibangunnya tenda2 di kawasan savana. 

Mudah mudahan itu berita tidak benar. Jika benar, maka pihak TNBTS tampaknya harus siap-siap digugat masyarakat pecinta lingkungan.

Pihak TNBTS sering berdalih bahwa jika masuk zona pemanfaatan berarti tidak ada pelanggaran. Apalagi jika  menggunakan bahan bangunan yang tidak permanen seperti bambu, kayu, kain terpal dll  maka itu tidak termasuk bangunan permanen. Mereka pura- pura lupa bahwa jika ada bangunan yang dibangun dengan material apapun tetapi selama 10 tahun lebih tetap berdiri di situ ya namanya bangunan permanen.

Di tengah-tengah musim paceklik wisata Bromo, dan ketika masyarakat pelaku wisata diminta belajar  memahami pentingnya konservasi Bromo melalui kebijakan Car Free Month, beredar lagi  desas-desus rencana dibangunnya Kereta Gantung (Cable Car). 

Saya yakin bahwa maksud Pemerintah sangat bagus, yaitu agar jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bromo meningkat pesat. Sebetulnya ini kan berita bagus bagi pelaku wisata di Bromo. Sudah pasti kita akan mendukung. Masalah muncul karena gagasan itu tidak disosialisasikan dengan baik, tidak ada tranparansi publik yang memadai. Sangat wajar jika ada reaksi penolakan sebagian kelompok masyarakat. Sangat wajar jika ada yang resah dan takut kehilangan mata pencaharian. Sangat manusiawi.

Sekali lagi  masyarakat pelaku wisata akan dengan senang hati mendukung gagasan apapun yang tujuannya baik dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sebelum "menjual mimpi kereta gantung di Bromo", apakah tidak sebaiknya pemerintah fokus mengatasi persoalan yang terjadi sekarang ini? Persoalan-persoalan koordinasi antar lembaga, manajemen anggaran, manajemen pengunjung, manajemen kendaraan/ lalu lintas dan persoalan ketersediaan air bersih semestinya diprioritaskan untuk diselesaikan dulu.

Bahkan di kawasan Bromo masih ada persoalan kebutuhan manusia yang paling mendasar, yaitu air. Apakah Presiden, para menteri, gubernur,  tidak mendapatkan informasi bahwa beberapa desa pendukung kawasan Bromo,  khususnya wilayah Probolinggo, langka air bersih?  Selama ini masyarakat dan pelaku usaha penginapan mengangkut air bersih dari kawasan bawah hingga 20 km jauhnya. 

Di tengah kegembiraan akan hadirnya kereta gantung dll, sangat masuk akal jika masyarakat mempertanyakan, mampukah kita mengelola Bromo jika kehadiran kereta gantung menyebabkan peningkatan pengunjung Bromo 2 sampai 5 kali lipat? Sedangkan saat ini tanpa kereta gantung saja masih banyak masalah yang belum terselesaikan?

Bagaimana mengatur wisatawan yang membludak? Apakah sudah dipikirkan potensi masyarakat akan rebutan air bersih? 

Pernah beredar kabar angin bahwa guna mengatasi persoalan tumpang tindihnya kewenangan birokrasi, Pemerintah akan membentuk semacam Badan Otorita untuk mengelola Bromo. Gagasan yang sangat bagus dan ideal. Tetapi sejauh ini belum terlihat ada realisasi dan langkah nyatanya. 
Jadi kembali ke pertanyaan awal: siapakah pengelola Bromo yang sebenarnya?
Apakah kita tunggu saja jadwal pemerintah  yang sibuk dengan berbagai prioritasnya.  Para pemangku kepentingan di Bromo tampaknya harus terus bersabar hingga tahun 2021.

Sebagai penutup kami ingin mengimbau pemerintah untuk mengoreksi kebijakan peningkatan penerimaan pendapatan dari sektor pariwisata, termasuk devisa dari wisatawan asing.  Sebaiknya Pemerintah tidak menerapkan 1 kebijakan untuk semua destinasi ( 1 fit for all). Melakukan "gebyah-uyah" atau generalisasi terhadap semua destinasi wisata sangat berbahaya untuk jangka panjang, khususnya dalam pelestarian lingkungan.

Harus ada kesadaran bahwa  tidak semua destinasi wisata kita keberhasilannya diukur dengan  jumlah wisatawan. Untuk destinasi wisata alam buatan Tuhan sebaiknya targetnya adalah penerimaan sektor pariwisata atau penerimaan devisa. Kalau mau lebih spesifik  targetnya bisa  jumlah belanja per wisatawan (money spent/ tourist).

Dikhawatirkan jika semua destinasi wisata dijadikan wisata sejuta umat, maka tempat indah seperti Gunung Bromo, Kawah Ijen, Pulau Komodo, Raja Ampat, Bunaken dan lain- lain akan hancur tidak kuat menahan beban pengunjung yang berlebihan. Tanda- tanda kerusakan lingkungan sudah mulai terlihat di beberapa destinasi wisata di Indonesia.

Tentu saja untuk destinasi wisata yang buatan manusia atau 'man made' seperti Dunia Fantasi, Jatim Park di Malang, Taman Safari, Garuda Wisnu Kencana di Bali, Taman Gandrung Terakota di Banyuwangi  dll,  boleh-boleh saja jika targetnya berdasar jumlah pengunjung. Karena tempat wisata buatan manusia, kalau rusak bisa diperbaiki. (*)

*) Penulis, Sigit Pramono, Pelaku dan Pemerhati Pariwisata

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

Writer :
Editor : Yatimul Ainun
Tags

Latest News

icon TIMES Australia just now

Welcome to TIMES Australia

TIMES Australia is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.