TIMES AUSTRALIA, JAKARTA – Dua puluh satu tahun setelah gelombang tsunami menghapus ratusan ribu nyawa di Aceh, ingatan kolektif itu kembali menguat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ribuan warga dari berbagai daerah di Provinsi Aceh memadati masjid bersejarah tersebut untuk mengikuti doa dan zikir bersama, Jumat (26/12/2025).
Kegiatan ini bukan sekadar ritual tahunan mengenang bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004, melainkan juga ruang refleksi atas bencana banjir bandang yang kembali menghantam Aceh dalam sebulan terakhir. Dua peristiwa berbeda waktu, namun sama-sama menyisakan luka ekologis dan kemanusiaan.
Sejak pagi, arus jemaah terus mengalir memasuki masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu. Doa bersama dihadiri Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah, unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), serta ribuan warga yang datang dengan membawa ingatan dan harapan.
“Doa ini kita panjatkan untuk mengenang saudara-saudara kita yang menjadi korban tsunami 21 tahun silam, sekaligus mendoakan korban bencana banjir yang melanda 18 dari 23 kabupaten/kota di Aceh sebulan terakhir,” ujar Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah.
Ia menegaskan, Aceh kembali diingatkan bahwa bencana bukan hanya peristiwa masa lalu, tetapi juga tantangan nyata hari ini yang menuntut kesadaran bersama.
Puncak kegiatan diisi tausiah oleh Ustadz Abdul Somad (UAS), yang mengajak masyarakat memaknai bencana secara lebih utuh—bukan hanya sebagai takdir, tetapi juga sebagai cermin perilaku manusia terhadap alam.
“Dalam Al-Qur’an disebutkan, bencana adalah ketetapan Allah. Namun, manusia juga punya andil. Pohon ditebang, hutan rusak, laut dieksploitasi. Ketika penahan air hilang, banjir bandang pun tak terelakkan,” kata UAS.
Ia menyoroti bahwa kerusakan lingkungan tidak hanya dilakukan oleh pelaku lapangan, tetapi juga oleh mereka yang memberi izin konversi lahan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
“Yang menebang mungkin terlihat, tapi yang menandatangani izin juga punya peran. Ketika bencana datang, masyarakat yang tidak tahu apa-apa ikut menjadi korban,” tegasnya.
Doa dan zikir bersama ini merupakan agenda tahunan Pemerintah Aceh setiap 26 Desember. Namun, kehadiran bencana banjir dalam waktu berdekatan membuat peringatan tahun ini terasa lebih sunyi, reflektif, sekaligus penuh pesan.
Aceh kembali berdiri di persimpangan ingatan dan masa depan—antara mengenang luka lama dan mencegah luka baru. Doa pun menjadi bahasa bersama, bukan hanya untuk para korban, tetapi juga untuk menjaga hubungan manusia dengan alam yang semakin rapuh. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Peringati 21 Tahun Tsunami Aceh, Doa Bersama di Masjid Raya Baiturrahman
| Writer | : Antara |
| Editor | : Imadudin Muhammad |