TIMES AUSTRALIA, SURABAYA – Sebuah cerita wayang yang pelik akan permasalahan salah satunya ditampilkan oleh lakon Bambang Ekalaya. Walaupun umumnya dan masyhurnya cerita wayang adalah tokoh-tokoh pandawa ataupun sebagian tokoh kurawa, cerita Bambang Ekalaya ternyata tak kalah menariknya. Berbagai pelajaran kegigihan, semangat juang dan tak putus asa ditampilkan dalam cerita ini.
Ekalaya adalah seorang putra kerajaan Paranggelung yang ingin berlatih memanah kepada Resi Druna namun kenyataannya tak semudah itu, Resi Druna yang sudah berjanji hanya akan menerima murid dari kalangan pandawa dan kurawa saja menjadikan Ekalaya tak bisa berguru kepada Resi Druna. Ekalaya yang gigih berlatih memanah benar-benar memperjuangkan agar Resi Druna bisa mengajarinya memanah.
Sekembalinya ke Paranggelung, Ekalaya ternyata membuat patung Resi Druna saat ia berlatih memanah. Tujuannya agar ia dapat terus diawasi oleh Resi Druna yang sudah dianggap sebagai gurunya itu.
Dalam setiap latihannya ia membayangkan jika Resi Druna hadir nyata sebagai seorang guru memanahnya. Patung yang dibuatnya pun segera diketahui. Singkatnya, Resi Durna meminta pertaruhan jempol milik Ekalaya untuk diserahkan kepada Resi Durna. Hal ini terjadi karena kecemburuan Arjuna akan kehebatan memanah Ekalaya yang sudah diketahui banyak orang. Tanpa pikir panjang Ekalaya yang selama ini sangat mendambakan ber-guru kepada Resi Durna kemudian memotong jarinya dan menyerahkannya kepada Resi Durna.
Begitulah sekelumit cerita Bambang Ekalaya akan kegigihannya dalam belajar memanah, walaupun keinginannya tak terpenuhi untuk ber-guru kepada Resi Durna. Sehingga ia menghadirkan patung dan taat kepada Resi Durna akan semua yang diperintahkan. Saat membaca dan melihat lakon ini, saya agaknya terkesima dengan apa yang dilakukan oleh Bambang Ekalaya. Sepertinya kondisi saat itu sama dengan potret pendidikan kita saat ini, begitu saya coba kaitkan dengan situasi saat ini.
Ki Hadjar Dewantara yang sekaligus Bapak Pendidikan Indonesia mengenalkan konsep "Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani". Sebuah konsep luar biasa dalam pendidikan di Indonesia, namun lagi-lagi memang sepertinya pemerintah kita ini mencoba mengawetkan situasi kolonialisme. Bagaimana tidak, aspek pendidikan yang paling penting nyatanya belum bisa dijangkau oleh seluruh elemen masyarakat.
Fenomena UKT Mahal, akses pendidikan yang eksklusif serta belum meratanya pendidikan agaknya mirip dengan situasi di cerita Bambang Ekalaya ini. Sebagai contoh adalah Pendidikan Tinggi yang tentu dengan berbagai kondisi hanya bisa diakses oleh segelintir kelompok sosial tertentu.
Potret lain dari pendidikan kita adalah rumitnya kejelasan dari pemegang kekuasaan. Jargon ganti menteri ganti kurikulum dilestarikan oleh setiap menteri pendidikan. Dampaknya adalah pendidikan yang bingung akan kebijakannya, sebenarnya mau diapakan ini semua seolah seperti alat main-main dan coba-coba.
Keseriusan memperbaiki pendidikan nyatanya dipandang sebelah mata saja, dalam debat Capres, paslon yang menunjukkan keseriusan kongkritnya untuk mengurus masalah pendidikan yang pelik ini. Bahkan ada yang menawarkan solusi makan dan makan, seolah makan adalah solusi untuk pendidikan dan kesehatan. Ya begitu kalau otak isinya makan dan makan.
Cerita Bambang Ekalaya ini adalah auto kritik terhadap fenomena pendidikan kita. Masyarakat yang tak mampu mengakses pendidikan yang setara akan kelabakan dan berupaya menyelesaikannya sendiri, tapi jangan heran nanti kalau punya prestasi akan diklaim sana-sini. Padahal tak sedikitpun memfasilitasi. Benar tidaknya situasi pendidikan saat ini, tapi memang sudah saatnya ada perhatian lebih terhadap masalah tahunan di pendidikan kita.
***
*) Oleh : Imam Gazi, Mahasiswa Pegiat Sastra dan Kebudayaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Writer | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |