TIMES AUSTRALIA, SUMATERA – Pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden akan bermuara pada 14 Februari mendatang. Sejumlah Kegiatan kampanye dan safari politik setiap kandidat capres dan cawapres pun terus digencarkan untuk mendapatkan suara maksimal di pemilu nanti. Masing-masing pasangan capres–cawapres memiliki gaya kampanye tersendiri untuk mendekatkan diri ke masyarakat mulai dari mengunjungi masyarakat secara langsung hingga mengadakan kegiatan sosial bersama masyarakat yang sudah menjadi bagian dari strategi politik.
Tim pemenangan bagi capres dan cawapres pun juga tidak terlepas dari upaya keras untuk menghadirkan kampanye yang tidak hanya terpaku sebatas orasi di panggung dengan menuturkan visi dan misi serta program yang akan di jalankan dengan disaksikan jutaan pasang mata oleh para pendukung dan simpatisan.
Kontestasi pilpres di tahun ini cukup menuai atensi untuk dikaji dalam persoalan strategi setiap paslon capres-cawapres. Bagaimana tidak, masing-masing kandidat dalam pilpres tahun ini telah beradaptasi di era digitalisasi dengan memanfaatkan ruang digital sebagai wajah baru dalam kampanye.
Dinamika masyarakat yang terus berkembang menjadi alternatif baru dalam upaya mempermudah pengaplikasian strategi kampanye tersebut. Melalui berbagai platform media sosial, komunikasi kontemporer dapat dibangun dengan masyarakat melalui diskusi secara virtual. Masyarakat dan dunia digital bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Kecendrungan masyarakat yang lebih aktif di dunia maya ketimbang lingkungan sosial fisiknya memang jelas adanya. Melalui platform sosial media ini lah para kandidat capres-cawapres dapat membangun citranya agar dapat menaikkan elektabilitas. Hal inilah yang menjadi faktor utama bagi para kandidat paslon dalam pilpres ini yang mensinergikan antara kampanye konvensional dengan kampanye digital. Ada beberapa kalangan dari masyarakat yang perlu sentuhan nuansa baru dalam strategi kampanye terutama bagi para generasi milenial.
Platform media sosial dengan pengguna terbanyak dan kerap kali di akses oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah Tiktok. Hal ini menjadikan Tiktok sebagai media sosial utama yang dijadikan strategi dalam kampanye. Penggunaan media sosial untuk berkampanye oleh para kandidat capres-cawapres memang sudah cukup baik hanya saja kurang interaksi dua arah.
Pemilihan platform media sosial Tiktok menjadi terobosan baru untuk melakukan komunikasi virtual dengan masyarakat. Salah satu fitur yang ada yakni fitur live yang memungkinkan dapat berinteraksi langsung dengan pengguna lainnya. Memang, melakukan siaran live bagi public figure ataupun seseorang yang memiliki pamor di masyarakat bukan lagi menjadi hal yang baru. Namun, di situasi pesta demokrasi saat ini tentu menimbulkan iklim yang berbeda.
Komunikasi virtual dijadikan alternatif bagi kandidat capres-cawapres untuk dapat menyapa dan berinteraksi dengan masyarakat terutama para pendukung dan simpatisan. Seperti halnya yang dilakukan oleh capres 01 Anies Baswedan dan cawapres 03 Mahfud MD. Keduanya tampil di akun Tiktok mereka dengan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh netizen.
Anies Baswedan yang disinyalir awalnya memiliki ide menggunakan live Tiktok untuk menjadi ruang digital bagi dirinya dan masyarakat untuk saling diskusi ringan terkait berbagai hal dalam keseharian. Anies memberikan kebebasan kepada warganet untuk bertanya tentang apa saja di live tiktok nya. Capres 01 dengan jargon “perubahan” tersebut menyenangi kampanye yang bernuansa diskusi, dialog, serta menghadirkan gagasan dengan masyarakat.
Tak mau ketinggalan, cawapres 03, Mahfud MD juga aktif di sosial media lewat fitur live di Tiktok. Mahfud yang digadang-gadang menjiplak gaya kampanye capres 01 menggaet suara generasi milenial secara virtual yang juga memiliki program dinamai “Tabrak, Prof”. Melalui tayangan live nya, Mahfud membahas tentang penataan hukum yang menjadi ranahnya.
Walaupun cara kampanye kedua paslon ini memiliki metode yang sama namun hal itu tidak menjadi persoalan yang berarti. Keduanya tetap pada esensi kampanye digital yang dapat mendekatkan diri dan membangun interaksi dengan masyarakat yang tentunya tidak jauh berbeda dengan kampanye secara konvensional pada umumnya.
Sementara itu di Kubu paslon 02, pemanfaatan digitalisasi dalam kampanye ini tidak hanya di sosial media sebagaimana yang dilakukan oleh kedua rivalnya. TKN Prabowo-Gibran merambah dengan menggunakan platform kecerdasan buatan atau yang dikenal dengan teknologi artificial intelligence (AI) untuk memaksimalkan kampanye digital. Model kampanye digital berbasis AI ini merupakan pertama kali digunakan dalam kampanye politik di Indonesia.
Dilansir dari detikNews, Relawan Prabowo-Gibran Digital Team (PRIDE) memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Relawan Politik Pertama yang Menggunakan Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI). Dalam kegiatan kampanye pun PRIDE telah mengimplementasikan Platform AI dalam aktivasi kampanye, untuk memudahkan para relawan dalam memproduksi narasi dan konten yang cepat dan akurat.
TKN Prabowo-Gibran juga meluncurkan situs Fotober2. AI sebagai cara baru untuk mendukung paslon ini. Tidak hanya itu, platform AI yang diberi nama PRABOWOGIBRAN.AI juga diluncurkan sebagai aplikasi AI berbasis web yang mana menyediakan materi kampanye kepada masyarakat. Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) ini juga dapat dilihat dari baliho yang terpajang sepanjang jalan menggunakan foto paslon 02 dengan menggunakan karakter AI tersebut yang memang sangat kontras dengan realitanya.
Tentu hal ini sangat memungkinkan dimanfaatkan oleh timses untuk menciptakan figure diri paslon 02 tersebut sesuai dengan segmen yang dituju khususnya para kaula muda. Pengaplikasian teknologi saat ini menjadi alternatif baru dalam upaya mempermudah pengaplikasian strategi kampanye.
Selain, minim soal dana terutama dengan cara live di sosial media, kampanye dengan memanfaaatkan ruang digital ini menjadi salah satu wujud perubahan dan bentuk adaptasi serta meng-acknowledge adanya perkembangan zaman.
Ada banyak hal yang dapat menarik perhatian masyarakat dengan memaksimalkan kampanye dengan metode digital ini. Dunia digital dapat menjadi determinan dan berperan penting sebagai senjata utama dalam memenangkan pasangan capres-cawapres nantinya.
Namun di balik itu, kampanye digital dan pemasangan banner, baliho lengkap dengan jargon serta slogannya di sepanjang jalan pada dasarnya belum cukup ampuh dalam menggaet suara yang maksimal di pemilu nanti. Masyarakat tidak hanya cukup mengenali calon pemimpin mereka sebatas visualisasi saja tetapi juga gagasan dan ide yang terkonseptualisasi dan point yang paling pentingnya tentu harus pro rakyat.
Dari sisi KPU pun, tidak ada larangan untuk berkampanye di sosial media selama mengikuti regulasi dan kode etik yang ada. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 15 tahun 2023 tentang kampanye pemilu sebagaimana tertuang pada pasal 37 dan 38, KPU mengatur aturan kampanye di media sosial.
Melalui sosial media komunikasi kontemporer dapat dibangun menyesuaikan dinamika di tengah masyarakat. Kandidat paslon dapat dengan bebas mengaktualisasikan diri serta membentuk citra mereka untuk menjangkau masyarakat secara menyeluruh. Korelasi manusia sebagai human being memiliki kecendrungan terhadap teknologi yang hadir sebagai realitas baru. Media sosial menjadi sebuah new life style yang digunakan untuk mensosialisasikan diri sejalan dengan apa yang digagas oleh Baudilard tentang konsep simulacra.
Simulacra lahir dari sistem teknologi, informasi dan globalisasi yang kian mengalami keberlanjutan. Perkembangan teknologi dan dunia virtual menurut Baudrillard sudah menjadi bagian dari sistem kehidupan manusia.
Komunikasi dan interaksi yang diciptakan dapat membuat sebuah dialektik di mana orang-orang saling mengomentari informasi yang disajikan di dunia maya, sehingga situasi ini disebut Baudrillard menjadi model dari simulacra karena komunikasi dan interaksi dalam masyarakat saat ini terjadi bukan pada kenyataan yang sesungguhnya, namun berlangsung di dunia maya yang tak terbatas, dan mereka anggap lebih nyata dan dekat dari realitas yang sebenarnya. Dalam teori simulacra Baudrillard, masyarakat kontemporer di bawa kepada realitas virtual, kondisi seperti ini menjadi budaya konsumsi citra yang di tawarkan oleh media massa.
Fenomena kampanye digital melalui sosial media oleh para capres-cawapres dilakukan untuk melanggengkan identitas dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya yang di bentuk melalui sosial media yang tentunya memiliki pesan dalam berkomunikasi. Namun hal ini sah-sah saja dilakukan karena berkaitan dengan strategi kampanye untuk menarik perhatian masyarakat dalam memperoleh suara maksimal di pemilu nanti.
***
*) Oleh : Widhy Vania Malinda, Alumni Universitas Andalas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Writer | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |